Rabu, 01 Februari 2012

Sekolah 5 Senti

Sekolah 5 Senti Oleh: Rhenald Kasali, Guru Besar Universitas Indonesia Setiap kali berkunjung ke Yerusalem, saya sering tertegun melihat orang-orang Yahudi orthodox yang penampilannya sama semua. Agak mirip dengan China di era Mao yang masyarakatnya dibangun oleh dogma pada rezim otoriter dengan pakaian ala Mao. Di China, orang-orang tua di era Mao jarang senyum, sama seperti orang Yahudi yang baru terlihat happy saat upacara tertentu di depan Tembok Ratapan. Itupun tak semuanya. Sebagian terlihat murung dan menangis persis di depan tembok yang banyak celahnya dan diisi kertas-kertas bertuliskan harapan dan doa. Perhatian saya tertuju pada jas hitam, baju putih, janggut panjang dan topi kulit berwarna hitam yang menjulang tinggi di atas kepala mereka. Menurut Dr. Stephen Carr Leon yang pernah tinggal di Yerusalem, saat istri mereka mengandung, para suami akan lebih sering berada di rumah mengajari istri rumus-rumus matematika atau bermain musik. Mereka ingin anak-anak mereka secerdas Albert Einstein, atau sehebat Violis terkenal Itzhak Perlman. Saya kira bukan hanya orang Yahudi yang ingin anak-anaknya menjadi orang pintar. Di Amerika Serikat, saya juga melihat orang-orang India yang membanting tulang habis-habisan agar bisa menyekolahkan anaknya. Di Bekasi, saya pernah bertemu dengan orang Batak yang membuka usaha tambal ban di pinggir jalan. Dan begitu saya intip rumahnya, di dalam biliknya yang terbuat dari bambu dan gedek saya melihat seorang anak usia SD sedang belajar sambil minum susu di depan lampu templok yang terterpa angin.Tapi tahukah anda, orang-orang yang sukses itu sekolahnya bukan hanya 5 senti? Sekolah 5 senti dimulai dari kepala di bagian atas. Supaya fokus, maka saat bersekolah, tangan harus dilipat, duduk tenang dan mendengarkan. Setelah itu, apa yang dipelajari di bangku sekolah diulang di rumah, ditata satu persatu seperti melakukan filing, supaya tersimpan teratur di otak. Orang-orang yang sekolahnya 5 senti mengutamakan raport dan transkrip nilai. Itu mencerminkan seberapa penuh isi kepalanya. Kalau diukur dari kepala bagian atas, ya paling jauh menyerap hingga 5 sentimeter ke bawah. Tetapi ada juga yang mulainya bukan dari atas, melainkan dari alas kaki. Pintarnya, minimal harus 50 senti, hingga ke lutut. Kata Bob Sadino, ini cara goblok. Enggak usah mikir, jalan aja, coba, rasain, lama-lama otomatis naik ke atas. Cuma, mulai dari atas atau dari bawah, ternyata sama saja. Sama-sama bisa sukses dan bisa gagal. Tergantung berhentinya sampai di mana. Ada orang yang mulainya dari atas dan berhenti di 5 senti itu, ia hanya menjadi akademisi yang steril dan frustasi. Hanya bisa mikir tak bisa ngomong, menulis, apalagi memberi contoh. Sedangkan yang mulainya dari bawah juga ada yang berhenti sampai dengkul saja, seperti menjadi pengayuh becak. Keduanya sama-sama berat menjalani hidup, kendati yang pertama dulu bersekolah di ITB atau ITS dengan IPK 4.0. Supaya bisa menjadi manusia unggul, para imigran Arab, Yahudi, China, dan India di Amerika Serikat menciptakan kondisi agar anak-anak mereka tidak sekolah hanya 5 senti, tetapi sekolah 2 meter. Dari atas kepala hingga telapak kaki. Pintar itu bukan hanya untuk berpikir saja, melainkan juga menjalankan apa yang dipikirkan, melakukan hubungan ke kiri dan kanan, mengambil dan memberi, menulis dan berbicara. Otak, tangan, kaki, dan mulut sama-sama disekolahkan dan sama-sama harus bekerja. Sekarang saya jadi mengerti mengapa orang-orang Yahudi mengirim anak-anaknya ke sekolah musik atau mengapa anak-anak orang Tionghoa ditugaskan menjaga toko, melayani pembeli selepas sekolah. Sekarang ini Indonesia sedang banyak masalah karena guru-guru dan dosen-dosen nya –maaf- sebagian besar hanya pintar 5 senti dan mereka mau murid-muridnya sama seperti mereka. Guru Besar Ilmu Teknik (Sipil) yang pintarnya hanya 5 senti hanya asyik membaca berita saat mendengar Jembatan Kutai Kartanegara ambruk atau terjadi gempa di Padang. Guru besar yang pintarnya 2 meter segera berkemas dan berangkat meninjau lokasi, memeriksa dan mencari penyebabnya. Mereka menulis karangan ilmiah dan memberikan simposium kepada generasi baru tentang apa yang ditemukan di lapangan. Yang sekolahnya 5 senti hanya bisa berkomentar atas komentar-komentar orang lain. Sedangkan yang pandainya 2 meter cepat kaki dan ringan tangan. Sebaliknya yang pandainya dari bawah dan berhenti sampai di dengkul hanya bisa marah-marah dan membodoh-bodohi orang-orang pintar, padahal usahanya banyak masalah. Saya pernah bertemu dengan orang yang memulainya dari bawah, dari dengkulnya, lalu bekerja di perusahaan tambang sebagai tenaga fisik lepas pantai. Walau sekolahnya susah, ia terus menabung sampai akhirnya tiba di Amerika Serikat. Di sana ia hanya tahu Berkeley University dari koran yang menyebut asal sekolah para ekonom terkenal. Tetapi karena bahasa inggrisnya buruk dan pengetahuannya kurang, ia beberapa kali tertipu dan masuk di kampus Berkeley yang sekolahnya abal-abal. Bukan Berkeley yang menjadi sekolah para ekonom terkenal. Itupun baru setahun kemudian ia sadari, yaitu saat duitnya habis. Sekolah tidak jelas, uang pun tak ada, ia harus kembali ke Jakarta dan bekerja lagi di ring lepas pantai. Dua tahun kemudian orang ini kembali ke Berkeley dan semua orang terkejut kini ia bersekolah di Business School yang paling bergengsi di Berkeley. Apa kiatnya? “Saya datangi dekannya dan saya minta diberi kesempatan. Saya katakan, saya akan buktikan saya bisa menyelesaikannya. Tetapi kalau tidak diberi kesempatan bagaimana saya membuktikannya?” Teman-temannya bercerita, sewaktu ia kembali ke Berkeley, semua orang Indonesia bertepuk tangan karena terharu. Anda mau tahu di mana ia berada sekarang? Setelah meraih gelar MBA dari Berkeley dan meniti karirnya sebagai eksekutif, kini orang hebat ini menjadi pengusaha dalam bidang energi yang ramah lingkungan, besar, dan inovatif. Saya juga bisa bercerita banyak tentang dosen-dosen tertentu yang pintarnya sama seperti Anda, tetapi mereka tidak hanya pintar bicara melainkan juga berbuat, menjalankan apa yang dipikirkan dan sebaliknya. Maka jangan percaya kalau ada yang bilang sukses itu bisa dicapai melalui sekolah atau sebaliknya. Sukses itu bisa dimulai dari mana saja, dari atas oke, dari bawah juga tidak masalah. Yang penting jangan berhenti hanya 5 senti atau 50 senti. Seperti otak orang tua yang harus dilatih, fisik anak-anak muda juga harus disekolahkan. Dan sekolahnya bukan di atas bangku, tetapi ada di alam semesta, berteman debu dan lumpur, berhujan dan berpanas-panas, jatuh dan bangun.

Senin, 13 Juni 2011

Nasihat Anak Untuk Orangtua

Minggu-minggu ini orang tua sibuk memikirkan anak-anak. Liburan, kenaikan kelas, kuliah dan jurusan, pekerjaan yang cocok dan seterusnya. Orang tua merasa berhak mengatur, menentukan masa depan anak-anak.
Pada waktu yang bersamaan, saya menerima kembali mahasiswa saya dari berbagai lokasi. Mahasiswa S-1 yang belum pernah menumpang pesawat, saya wajibkan pergi berdua atau bertiga ke luar negeri. Jangan Anda tanya dari mana uangnya, pokoknya ada keajaiban. Anak-anak petani dan PNS yang hidupnya serba pas-pasan di UI itu sekarang sudah melihat macam-macam negara: Saudi, India, Jepang, Makau, Hongkong, Tiongkok, Laos, Kamboja, Thailand dan Vietnam. Pokoknya pergi ke negara yang penduduknya tak bisa diajak bahasa ibu mereka dan tidak diantar oleh dosen.
Sedangkan mahasiswa MM yang rata-rata berasal dari kelas menengah atas, yang datang ke kampus dengan mobil pribadi, saya kirim ke sebuah pesantren di Lamongan yang mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan dan kasih sayang lintas agama. Di sana mereka diajak mengasihi sesama, merawat kaum lansia yang dibuang anak-anaknya di hutan, merawat anak-anak balita yang dibuang orang tuanya sejak bayi, melakukan susur sungai, diskusi di pasar, serta berdialog bersama para santri dan petani.
Yang di-sharing-kan ke dalam kolom ini adalah apa yang saya dapatkan dari dialog dengan anak-anak didik. Ada kerinduan anak-anak untuk menyampaikannya langsung kepada orang tua, namun entah mengapa leher mereka tercekat dan suaranya tak sampai ke sanubari kita. Tentu ada banyak cerita bagus dari mahasiswa berjiwa sehat yang tak bermasalah, namun saya batasi saja pada kasus-kasus penting yang perlu kita perhatikan yang tidak hanya saya temui di UI, tetapi merata di antara Generation C di berbagai kampus di nusantara.
Jangan Paksa Aku
“Selama bertahun-tahun hidupku hanya belajar dan menuruti kehendak orang tuaku. Mereka berpikir lebih mengetahui dan keputusannya selalu baik,” kata para mahasiswa. Mulanya saya terkejut juga, bukankah kuliah di universitas terkemuka suatu kebanggaan? “Itu kebanggan orang tua, bukan saya,” ujar beberapa mahasiswa yang mengakui bahwa dirinya cukup pandai.
Suatu hari saya meluangkan waktu mendengarkan seluruh unek-unek mereka. Hari Minggu lalu, selama 12 jam, mereka maju untuk berbicara tentang masa lalu dan masa depan. Tentu saja, banyak mahasiswa yang jiwanya sehat yang tak saya bahas di sini, namun semakin aneh perilaku mahasiswa, semakin tertantang saya mendengarkannya. Anda tentu ingin mengetahui apa yang saya maksud berperilaku aneh?
Begini, berpakaian tidak matching, aksesori yang janggal. Menyebut diri handsome atau pintar dari kata-kata orang tua sendiri. Bercelana bahan kain seperti orang kantoran, namun bersepatu kets. Jarang mandi, berpenampilan kumuh, aroma tak sedap. Berpenampilan religius, namun sorot matanya penuh amarah dan kata-katanya pedas.
Duduk menyendiri di sudut belakang, tak berani memandang, setiap diajak bicara menunduk takut. Diminta maju, tak bisa berbicara apa-apa. Bahkan anak-anak pandai pun, ada yang saat diminta maju, terlalu banyak bergerak. Dan Seterusnya.
Orang tua mungkin berpikir tugasnya sudah selesai saat anaknya diterima di universitas terkenal, seakan terjamin masa depannya. Namun sewaktu saya “bongkar” melalui metode “naik panggung”, terungkaplah segala unek-unek. Saya menemukan hidup sejumlah mahasiswa penuh larangan. Bahkan, ada orang tua yang bila tau anaknya pergi tanpa dosen akan panik dan melarang ikut.
Sebagian lagi sulit mengontrol amarah. Membanting tiga hingga enam buah ponsel atau sering tertinggal dan hilang berturut-turut. Rupanya, ibunda sangat panik saat tak bisa menghubungi anak gadisnya. Karena itu, setiap kali ponsel hilang atau rusak, orang tua selalu menggantinya dengan yang baru.
Saya juga menemui satu dua rekaman-rekaman kurang sehat yang mengajarkan hanya cara mereka yang benar. Orang atau kelompok lain selalu salah dan pantas disingkirkan. Tak dapat saya bayangkan bagaimana masa depan anak-anak yang terpenjara belief-nya, miskin perspektif, tak punya empati. Selain itu, banyak orang pintar yang menganggap orang lain yang berhasil sebagai ancaman.
Life Skill
Lantas, apa hubungannya antara perilaku-perilaku yang kurang baik itu dan perjalanan ke luar negeri dan pesantren yang saya set di atas? Di atas pengetahuan yang dapat dibelikan orang tua untuk anak-anaknya, sesungguhnya mereka membutuhkan life skill. Life skill itu tidak didapatkan anak-anak dari guru kurikulum atau orang tua yang hanya mengejar nilai akademis, intelektual atau rapor belaka. Mereka membutuhkan guru kehidupan, dan orang tua adalah guru hidup yang paling berarti bagi masa depan anak-anak.
Apa sajakah life skill itu? WHO pernah menyebutkan, life skill adalah modal untuk hidup sehat, dan UNESCO mengatakan bangsa yang maju dan perekonomiannya memiliki daya saing adalah bangsa yang menanam life skill sejak dini.
Ellen Galinsky menyebutkan tujuh essential life skill, sedangkan yang lain menyebutkan sepuluh :
1.Kemampuan mengelola rasa frustrasi, cognitive flexibility, focus dan self control
2.Kemampuan mengambil keputusan dengan jernih
3.Menimbang resiko
4.Berpikir logis, kritis dan kreatif
5.Berkomunikasi artikulatif
6.Berempati terhadap kesulitan orang lain
7.Kemampuan melihat dari perspektif yang berbeda, dan terakhir adalah apa yang ditemukan psikolog Carol Dweck,
8.Growth Mindset, yang saya bahas dua minggu lalu.
Orang tua yang memaksa anak-anaknya, perlu meluangkan waktu untuk mendengarkan dan introspeksi. Anak-anak yang berhasil adalah anak-anak yang memiliki life skill, dan bangsa yang yang menang adalah bangsa yang punya keterampilan untuk hidup dan cara berpikirnya sehat. Negeri ini membutuhkan orang tua yang cerdas dan guru yang pendidik, bukan pengajar yang sekedar memindahkan isi buku.

Artikel ini dimuat di harian pagi Jawa Pos edisi Senin, 6 Juni 2011.

Minggu, 05 Juni 2011

MINDSET- Rhenald Kasali

Setiap terlibat dalam proses transformasi, saya selalu bertemu dg 2 kelompok yg berbeda: penerima dan penentang. Semula saya menduga, para penentang adalah orang-orang yg kalah, tersingkirkan, dan maaf, kurang pandai. Tetapi, belakangan saya menemukan, orang-orang yg sangat diuntungkan oleh perubahan dan sangat pandai ternyata jg bisa bergabung dg penentang bagi perubahan yg baik. Demikian pula sebaiknya.
Tidak sulit bagi saya membaca pikiran keduanya. Sebab, hampir setiap hari Rumah Perubahan membawa titipan 2 kelompok itu. Objektifnya sederhana saja: ganti kaset. Teman-teman saya menambahkan: ganti kaset, banting setir. Persis seperti diucapkan para santri di sebuah pesantren di Lamongan.
Seperti computer yg harus di-setting sebelum dipakai, otak manusia dalam menghadapi perubahan rupanya harus diset ulang. Tentu bukan sekedar setting-an margin atas-bawah atau kiri-kanan, melainkan setting-an berpikirnya.
Kata para ahli, mindset adalah set of assumption. Jadi, ia terdiri atas asumsi-asumsi yg dianut seseorang dan sudah tidak cocok dg kebutuhan yg baru. Dalam banyak hal, mereka terkurung pikiran-pikiran dan anggapan-anggapannya sendiri.
Melalui rangkaian proses terapi selama 2-3 hari, kami menyetel ulang. Tentu saja, orang-orang ini harus dibawa ke titik nol lebih dahulu, dikosongkan dari pikiran-pikiran lamanya. Tetapi, proses mengisinya tidak bisa dilakukan secara konvensional. Melalui rangkaian proses bermain dan melatih muscle memory (myelin), pikiran-pikiran baru itu ditata ulang.
Tentu saja, tidak semua orang siap berubah. Tetapi, orang-orang yg mau berubah pasti akan menemukan settingan baru. Seperti kata ahli perilaku Carol Dweck dari Stanford, kami mengamati 2 jenis mindset. Yaitu, growth mindset yg siap berubah dan fixed mindset yg merasa sudah selesai.
Saya sering mengatakan, orang bodoh tak akan selamanya bodoh. Demikian pula orang pintar. Pengamatan saya sela 25 tahun lebih berkarir di kampus, ada orang yg dulunya bodoh menjadi pintar dan ada orang pintar yg berubah menjadi bodoh.
Para Penentang
Aneh sekali, para penentang perubahan biasanya terdiri atas orang-orang yg merasa dirinya pintar. Ternyata, mereka benar-benar pintar berbicara, pandai member argumentasi. Masalahnya, menurut Bu Dweck, mereka itu masuk dalam kategori fixed mindset dg cirri-ciri sebagai berikut.
Pertama, tingkat kecerdasan mereka, meski tinggi, ternyata statis. They are all the way they are. Ingin terlihat hebat, tetapi sebenarnya mereka mudah menyerah dalam menghadapi tantangan baru. Mereka ingin tetap berada pada hal-hal yg sudah mereka kuasai. Upaya-upaya belajar tidak ada dan sangat sensitife kritik. Keberhasilan orang lain lebih dilihat sebagai ancaman.
Hal itu berbeda benar dg orang-orang yg cepat beradaptasi menerima hal-hal baru (growth mindset). Meski sekolahnya dulu tak seberapa pintar, kecerdasan mereka dapat dikembangkan dan dilatih karena mereka terbuka terhadap masukan-masukan dan kritik.
Bagi mereka, kalau ada tantangan baru, hal itu justru merupakan kesempatan bagus untuk membuat diri menjadi lebih unggul pada bidang-bidang baru dan kegagalan adalah peluang untuk belajar, bukan akhir dari segala-galanya. Bila gagal, citra mereka tidak merasa terganggu. Bekerja lebih keras adalah jalan menjadi orang hebat. Kalau ada orang lain yg berhasil, mereka akan dijadikan kawan, bukan ancaman. Dari orang-orang hebat itulah, mereka bias berubah menjadi lebih hebat.
Kemampuan Anda mendeteksi dan menerapi 2 tipe manusia itu akan menjadi kunci sukses bagi setiap pemimpin perubahan. Apalagi bila Anda tahu cara mengubah kelompok fixed mindset menjadi growth mindset. Orang-orang yg menghambat perubahan bukanlah orang yg kurang pandai, melainkan terkurung oleh cara berpikirnya sendiri.
Demikian pula dalam membesarkan anak-anak kita. Anak-anak yg berhasil menemukan potensinya bukanlah anak-anak yg IQ-nya atau indeks prestasinya tinggi. Melainkan, apakah mindset-nya terbuka atau tertutup, mengembang atau menguncup. Tugas kita bukan membuat seseorang menjadi hebat sesaat, melainkan tumbuh berkembang, menemukan pintu masa depan dan beradaptasi dg perubahan. (*)

*) guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pakar bisnis dan strategi.

Ikan Kembung- Rhenald Kasali

Meningkatnya daya beli Indonesia ternyata tak hanya diminati Starbucks, Carefour, Petronas dan Unilever saja. Ikan kembung dan garam pun berebut masuk negeri bahari ini. Dalam dua bulan terakhir ini 5,300 ton kontainer ikan kembung ditemukan di berbagai pelabuhan utama Indonesia: Tanjung Priok, Tanjung Mas, dan Belawan. Untunglah Mentri Kelautan menolaknya masuk.

Kalau dibiarkan, maka nelayan-nelayan Indonesia akan kehilangan nafkah signifikan, meski para penikmat seafood akan dibanjiri ikan-ikan murah. Menurut istri saya, harga ikan kembung lokal di sebuah supermarket di Jakarta di atas dua puluh ribu rupiah per kilo. Sedangkan menurut para nelayan, mereka bisa menjualnya lima belas libu rupiah. Tahu berapa harga yang dilepas para importir di pasar-pasar induk? Lima ribu rupiah.

Ternyata bukan cuma ikan kembung. Ikan lele yang mudah diternak sudah diselundupkan dari Malaysia melalui perbatasan Entekong. Lele yang dikenal sebagai ikan bengis, pemakan segala dan sulit mati ini kok bisa-bisanya kalah bersaing. Di pasar Indonesia yang dihargai Rp 20.000 ternyata bisa diimpor dengan harga Rp 10.000 per kilo. Padahal Indonesia juga dikenal sebagai negeri limbah. Penduduknya buang sampah sembarangan. Sisa sawi dan roti, sogut, tempe basi, limbah ikan dan ayam, semua bisa dimakan ikan lele. Mengapa dinas-dinas peternakan justru membakar limah-limbah ayam dan ikan? Membakar butuh energy, keluar uang. Kalau diberi kepada penernak ikan akan menciptakan kemakmuran.

Selain itu, lalat, belatung, dan keong emas banyak ditemui di sini. Di Jambi saya pernah melihat belatung sebesar ibu jari. Kalau kita serius, maka lalat, belatung, dan keong mas dapat diolah menjadi protein pakan ikan.



Ekonomi Pergaraman

Berjalan kaki di sepanjang bibir pantai Sumenep, maka anda akan menyaksikan ribuan hektar tambak garam. Sayangnya dua tahun terakhir ini cuaca tidak bersahabat. Curah hujan tinggi, petambak kesulitan menjemur garam. Lantas apa solusinya? Lagi-lagi impor. Negeri ini mengimpor sebanyak 1,6 juta ton garam setiap tahunnya.

Pemandangan berbeda saya temui di sepanjang pantai menuju ibu kota Jordania, Aman. Menelusuri bibir pantai sepanjang Laut Mati, saya jarang sekali melihat tambak-tambak garam milik rakyat. Yang saya temui hanyalah satu dua pabrik berkapasitas besar yang mengolah garam yang kadarnya sangat tinggi. Di pantainya, saya menemukan kristal-kristal garam ukuran besar yang tanpa bantuan matahari sekalipun sudah mengkristal.

Masalah Garam, ikan kembung, lele, peternakan ayam dan sapi potong, sebenarnya tidak berdiri sendiri. Masa depan produksi kelautan, perikanan, sampai ke pertanian sesungguhnya saling berhubungan. Hasil yang dicapai bisa diterka sejak dua puluh tahun yang lalu. Semua berawal dari mindset perencana ekonomi yang didasarkan tiga hal.

Pertama, “Indonesia tanah surga”. Mindset ini membentuk pikiran bahwa kita tak perlu mengembangkan teknologi. Matahari bersinar sepanjang tahun, angin membawa nelayan kemana mereka ingin pergi, jaring saja sudah menjadi bekal penangkap ikan yang hebat karena lautnya kaya. Akibatnya kita sedikit sekali mengembangkan teknologi. Kerja kita adalah kerja alam, yang hanya menjadi bagus kalau tak ada persaingan. Begitu persaingan global dibuka, pemakai teknologi menyobek pertahanan pangan kita. Bahkan buah-buahan, batik, dan beras pun impor.

Kedua, “rakyat adalah kaum pekerja”. Kaum pekerja ini dulu namanya PNS, sehingga semua PNS saat itu diberi beras bulanan. Bahkan yang makan jagung atau sagu pun berganti ke beras. Sekarang rakyat itu adalah buruh, penerima upah minimal. Rakyat ini harus dilindungi dengan beras murah, bensin murah, listrik murah, sekolah gratis, dan seterusnya. Berbeda benar dengan pemerintah Jepang atau Vietnam. Di kedua negara itu, meski industrialisasi digenjot, yang disebut rakyat adalah kaum petani. Tengoklah apa muara dari mindset yang demikian: petani dan nelayan diijinkan menjual beras dan ikan dengan harga tinggi. Akibatnya petani dan nelayan hidup semakmur buruh pabrik. Punya rumah layak, traktor atau kapal bermesin dengan teknologi modern. Beda sekali dengan disini, rakyat adalah penikmat, bukan petani atau nelayan. Karena miskin, tak ada lagi yang mau jadi petani atau nelayan dan lebih senang mengimpor.

Ketiga, ”bekerja artinya turun sendiri-sendiri”. Mana ada di dunia ini bangsa yang sejahtera karena pemimpinnya jalan sendiri-sendiri? Kementerian kelautan urus garam, BBPT urus teknologi, departenen perhubungan urus kapal, perdagangan urus impor, direktorat industri kimia departemen perindustrian juga urus garam. Semuanya punya orang hebat, lulusan ITB, UGM, Unair atau IPB. Tapi semua bekerja sendiri-sendiri. Ibarat pelari sprinter yang biasa lari cepat belum tentu jago di lari estafet. kalau terlalu jago, tongkatnya jatuh saat diestafetkan.

Sekarang saatnya bekerja. Tetapi sebelum bekerja kita perlu menyamakan pikiran (mindset) dan satukan tindakan. Rakyat itulah petani dan nelayan. Berikanlah mereka harga yang bagus, maka mereka akan bertani dan melaut. Maukan kelas menengah yang sudah menggenggam handphone dan laptop membeli beras sedikit lebih mahal untuk petani? Toh uang sekolah anak sudah dibayarkan negara, listrik juga tetap di subsidi. Kalau petani dan nelayan sejahtera, besok anak-anak kita bisa tetap mendapatkan makan.

MINDSET

Setiap terlibat dalam proses transformasi, saya selalu bertemu dg 2 kelompok yg berbeda: penerima dan penentang. Semula saya menduga, para penentang adalah orang-orang yg kalah, tersingkirkan, dan maaf, kurang pandai. Tetapi, belakangan saya menemukan, orang-orang yg sangat diuntungkan oleh perubahan dan sangat pandai ternyata jg bisa bergabung dg penentang bagi perubahan yg baik. Demikian pula sebaiknya.
Tidak sulit bagi saya membaca pikiran keduanya. Sebab, hampir setiap hari Rumah Perubahan membawa titipan 2 kelompok itu. Objektifnya sederhana saja: ganti kaset. Teman-teman saya menambahkan: ganti kaset, banting setir. Persis seperti diucapkan para santri di sebuah pesantren di Lamongan.
Seperti computer yg harus di-setting sebelum dipakai, otak manusia dalam menghadapi perubahan rupanya harus diset ulang. Tentu bukan sekedar setting-an margin atas-bawah atau kiri-kanan, melainkan setting-an berpikirnya.
Kata para ahli, mindset adalah set of assumption. Jadi, ia terdiri atas asumsi-asumsi yg dianut seseorang dan sudah tidak cocok dg kebutuhan yg baru. Dalam banyak hal, mereka terkurung pikiran-pikiran dan anggapan-anggapannya sendiri.
Melalui rangkaian proses terapi selama 2-3 hari, kami menyetel ulang. Tentu saja, orang-orang ini harus dibawa ke titik nol lebih dahulu, dikosongkan dari pikiran-pikiran lamanya. Tetapi, proses mengisinya tidak bisa dilakukan secara konvensional. Melalui rangkaian proses bermain dan melatih muscle memory (myelin), pikiran-pikiran baru itu ditata ulang.
Tentu saja, tidak semua orang siap berubah. Tetapi, orang-orang yg mau berubah pasti akan menemukan settingan baru. Seperti kata ahli perilaku Carol Dweck dari Stanford, kami mengamati 2 jenis mindset. Yaitu, growth mindset yg siap berubah dan fixed mindset yg merasa sudah selesai.
Saya sering mengatakan, orang bodoh tak akan selamanya bodoh. Demikian pula orang pintar. Pengamatan saya sela 25 tahun lebih berkarir di kampus, ada orang yg dulunya bodoh menjadi pintar dan ada orang pintar yg berubah menjadi bodoh.
Para Penentang
Aneh sekali, para penentang perubahan biasanya terdiri atas orang-orang yg merasa dirinya pintar. Ternyata, mereka benar-benar pintar berbicara, pandai member argumentasi. Masalahnya, menurut Bu Dweck, mereka itu masuk dalam kategori fixed mindset dg cirri-ciri sebagai berikut.
Pertama, tingkat kecerdasan mereka, meski tinggi, ternyata statis. They are all the way they are. Ingin terlihat hebat, tetapi sebenarnya mereka mudah menyerah dalam menghadapi tantangan baru. Mereka ingin tetap berada pada hal-hal yg sudah mereka kuasai. Upaya-upaya belajar tidak ada dan sangat sensitife kritik. Keberhasilan orang lain lebih dilihat sebagai ancaman.
Hal itu berbeda benar dg orang-orang yg cepat beradaptasi menerima hal-hal baru (growth mindset). Meski sekolahnya dulu tak seberapa pintar, kecerdasan mereka dapat dikembangkan dan dilatih karena mereka terbuka terhadap masukan-masukan dan kritik.
Bagi mereka, kalau ada tantangan baru, hal itu justru merupakan kesempatan bagus untuk membuat diri menjadi lebih unggul pada bidang-bidang baru dan kegagalan adalah peluang untuk belajar, bukan akhir dari segala-galanya. Bila gagal, citra mereka tidak merasa terganggu. Bekerja lebih keras adalah jalan menjadi orang hebat. Kalau ada orang lain yg berhasil, mereka akan dijadikan kawan, bukan ancaman. Dari orang-orang hebat itulah, mereka bias berubah menjadi lebih hebat.
Kemampuan Anda mendeteksi dan menerapi 2 tipe manusia itu akan menjadi kunci sukses bagi setiap pemimpin perubahan. Apalagi bila Anda tahu cara mengubah kelompok fixed mindset menjadi growth mindset. Orang-orang yg menghambat perubahan bukanlah orang yg kurang pandai, melainkan terkurung oleh cara berpikirnya sendiri.
Demikian pula dalam membesarkan anak-anak kita. Anak-anak yg berhasil menemukan potensinya bukanlah anak-anak yg IQ-nya atau indeks prestasinya tinggi. Melainkan, apakah mindset-nya terbuka atau tertutup, mengembang atau menguncup. Tugas kita bukan membuat seseorang menjadi hebat sesaat, melainkan tumbuh berkembang, menemukan pintu masa depan dan beradaptasi dg perubahan. (*)

*) guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pakar bisnis dan strategi.

Kamis, 19 Mei 2011

Celoteh Konselor -1



Guru BK akan "dibantu" dosen UNESA untuk Classroom Action Research (PTK-BK)dan penulisan Karya Tulis Ilmiah-nya..OMG,kenapa tidak dibentuk saja kelompok guru pembelajar,betapa ilmu menjadi susah dan mahal untuk dicari, dipahami, apalagi diimplementasikan.
Jika ini hanya untuk sebagai upaya memuluskan sertifikasi, betapa picik pemikirannya. Fakta membuktikan, bahkan guru yang tak sesuai bidang keilmuannya sudah banyak yang lolos sertifikasi.
Sementara tak terhitung pula jumlah guru yang belum mendapatkan haknya. Buruh Guru??
*
"Oh..muridku, cobalah tenang dulu.Kamu sudah aktif berlarian kesana-kemari, bermain sepak bola di lapangan tengah saat istirahat tadi, lantas ke kamar mandi ijinmu, kakimu terus kamu langkahkan ke kantin.Maukah kamu belajar bersamaku. Belajar tentang hidup yang harus diperjuangkan,apa pun keadaannya.
Tak sampaikah hatiku ini, ke hatimu?"

Kamis, 23 April 2009

Choose to be Happy

Choose to be Happy

Inspired by : David Niven, Ph.D
File : Kecerdasan Intrapersonal


Kita semua pasti punya citra diri ideal yang timbul dari pengenalan sama diri sendiri (udah pernah introspeksi, kan), karakter sifat dan sikap yang ingin disempurnakan, ingin menjadi pribadi seperti apa, ingin ada dalam kondisi hidup yang bagaimana, dan sebagainya. Kita semua punya keinginan atau cita-cita. Mungkin kita tak bisa merancang secara teknis dan rinci tapi blue print secara garis besar tentu ada. Aku sendiri bila ditanya, “apa keinginan dirimu?”- aku ingin jadi pribadi yang sehat, sukses dan bahagia. Just it, nah nanti tinggal dioperasionalkan di setiap aspek hidup kita, seperti keterkaitannya dengan keberadaan lingkungan, keluarga, aktualisasi diri, penghasilan dan sebagainya. Bisa juga dibuat mind map dari tiga pokok utama itu. Mau sehat yang bagaimana, cukup hanya dengan minum air putih, makan buah dan sayur yang banyak?!, atau pikiran yang harus dijaga biar ga depresi..(uff..kawan, kalau kau tau rasanya, hopeless banget waktu depresi, diri yang hidup jadi mati rasa). Mau sukses yang seperti apa, di bidang apa saja, be a leader, mapan, kaya, pinter, ini tentang pilihan aktualisasi diri. Atau mau bahagia seperti apa, being free, punya keluarga sebagai supporting system yang solid, ini tentang cara mewujudkan impian.
Oke, hal-hal yang ingin aku share-kan ke kawan-kawan seputar kebahagiaan dulu. Bahagia yang sifatnya relatif dan bukan berarti saat ini aku lebih bahagia dari kalian semua. Tapi, bukankah menjadi bahagia dan kurang bahagia (sedih/murung/hopeless) itu menjadi sebuah pilihan setiap hari.
Ternyata, kita perlu punya strategi untuk mencapai kebahagiaan. Kadangkala kita menganggap bahwa orang-orang bahagia dan tidak bahagia sudah ditentukan sejak lahir. Yah..kita kan sering melakukan komparasi dengan orang lain, padahal kawan-kawan, kebahagiaan kita sendiri itu sejatinya tidak layak untuk diukur dengan kebahagiaan orang lain, relatif. Namun sesungguhnya, dua macam manusia (yang bahagia dan tak bahagia) ini melakukan dua hal yang berbeda. Orang-orang bahagia membiarkan diri mereka bahagia, sedangkan orang-orang yang tidak bahagia, secara sadar atau tidak, terus melakukan hal-hal yang mengesalkan diri mereka.
Analogi sederhananya, kita bisa belajar dari anak kecil. Mereka tahu pasti, kapan harus merajuk minta dibelikan es krim. Anak kecil itu juga tahu, kapan harus ribut biar dapat perhatian dari orangtuanya. Mereka paham ada aturan dan pola yang bisa ditebak dalam hidup. Mereka memakai strategi untuk mendapat apa yang mereka inginkan.
Meraih hidup bahagia sebagai orang dewasa, sama dengan seorang anak kecil yang mencoba mendapat es krim. Kita harus tahu apa yang kita inginkan, lalu gunakan strategi untuk mendapatkannya. Pikirkan apa sih yang membuat kita bahagia dan apa yang membuat kita sedih. Lalu gunakan itu untuk mencapai apa yang kita inginkan. Introspeksi tuh perlu.
”orang bahagia” tidak terus-terusan sukses. Begitu juga sebaliknya, ”orang tidak bahagia” tidak terus-terusan gagal. Beragam penelitian menunjukkan bahwa ”orang bahagia” dan ”orang tidak bahagia” cenderung punya pengalaman hidup yang serupa. Bedanya, rata-rata ”orang tidak bahagia” menghabiskan waktu dua kali lebih banyak untuk memikirkan kejadian yang tidak menyenangkan. Sementara ”orang bahagia” cenderung mencari informasi yang membuka wawasan mereka (Lyubomirsky, 1994).
So, hopefully we can be happy people!!
Tetap senyum ;-)