Kamis, 23 April 2009

Choose to be Happy

Choose to be Happy

Inspired by : David Niven, Ph.D
File : Kecerdasan Intrapersonal


Kita semua pasti punya citra diri ideal yang timbul dari pengenalan sama diri sendiri (udah pernah introspeksi, kan), karakter sifat dan sikap yang ingin disempurnakan, ingin menjadi pribadi seperti apa, ingin ada dalam kondisi hidup yang bagaimana, dan sebagainya. Kita semua punya keinginan atau cita-cita. Mungkin kita tak bisa merancang secara teknis dan rinci tapi blue print secara garis besar tentu ada. Aku sendiri bila ditanya, “apa keinginan dirimu?”- aku ingin jadi pribadi yang sehat, sukses dan bahagia. Just it, nah nanti tinggal dioperasionalkan di setiap aspek hidup kita, seperti keterkaitannya dengan keberadaan lingkungan, keluarga, aktualisasi diri, penghasilan dan sebagainya. Bisa juga dibuat mind map dari tiga pokok utama itu. Mau sehat yang bagaimana, cukup hanya dengan minum air putih, makan buah dan sayur yang banyak?!, atau pikiran yang harus dijaga biar ga depresi..(uff..kawan, kalau kau tau rasanya, hopeless banget waktu depresi, diri yang hidup jadi mati rasa). Mau sukses yang seperti apa, di bidang apa saja, be a leader, mapan, kaya, pinter, ini tentang pilihan aktualisasi diri. Atau mau bahagia seperti apa, being free, punya keluarga sebagai supporting system yang solid, ini tentang cara mewujudkan impian.
Oke, hal-hal yang ingin aku share-kan ke kawan-kawan seputar kebahagiaan dulu. Bahagia yang sifatnya relatif dan bukan berarti saat ini aku lebih bahagia dari kalian semua. Tapi, bukankah menjadi bahagia dan kurang bahagia (sedih/murung/hopeless) itu menjadi sebuah pilihan setiap hari.
Ternyata, kita perlu punya strategi untuk mencapai kebahagiaan. Kadangkala kita menganggap bahwa orang-orang bahagia dan tidak bahagia sudah ditentukan sejak lahir. Yah..kita kan sering melakukan komparasi dengan orang lain, padahal kawan-kawan, kebahagiaan kita sendiri itu sejatinya tidak layak untuk diukur dengan kebahagiaan orang lain, relatif. Namun sesungguhnya, dua macam manusia (yang bahagia dan tak bahagia) ini melakukan dua hal yang berbeda. Orang-orang bahagia membiarkan diri mereka bahagia, sedangkan orang-orang yang tidak bahagia, secara sadar atau tidak, terus melakukan hal-hal yang mengesalkan diri mereka.
Analogi sederhananya, kita bisa belajar dari anak kecil. Mereka tahu pasti, kapan harus merajuk minta dibelikan es krim. Anak kecil itu juga tahu, kapan harus ribut biar dapat perhatian dari orangtuanya. Mereka paham ada aturan dan pola yang bisa ditebak dalam hidup. Mereka memakai strategi untuk mendapat apa yang mereka inginkan.
Meraih hidup bahagia sebagai orang dewasa, sama dengan seorang anak kecil yang mencoba mendapat es krim. Kita harus tahu apa yang kita inginkan, lalu gunakan strategi untuk mendapatkannya. Pikirkan apa sih yang membuat kita bahagia dan apa yang membuat kita sedih. Lalu gunakan itu untuk mencapai apa yang kita inginkan. Introspeksi tuh perlu.
”orang bahagia” tidak terus-terusan sukses. Begitu juga sebaliknya, ”orang tidak bahagia” tidak terus-terusan gagal. Beragam penelitian menunjukkan bahwa ”orang bahagia” dan ”orang tidak bahagia” cenderung punya pengalaman hidup yang serupa. Bedanya, rata-rata ”orang tidak bahagia” menghabiskan waktu dua kali lebih banyak untuk memikirkan kejadian yang tidak menyenangkan. Sementara ”orang bahagia” cenderung mencari informasi yang membuka wawasan mereka (Lyubomirsky, 1994).
So, hopefully we can be happy people!!
Tetap senyum ;-)

Selasa, 07 April 2009

School Bullying

Kawan, kali ini aku ingin mengajakmu menilik cela pada organ pendidikan di negri terkasih ini. Tentang fenomena tindak kekerasan di institusi pendidikan namun yang dibahas bukan kekerasan yang sudah tersistematik seperti kasus di IPDN dan akademi (ala) militerianisme. Kalau yang seperti itu, mereka sudah berasumsi bahwa kedisiplinan, keteraturan dan kepatuhan pada peraturan hanya bisa ditempuh dengan pressure fisik. Jika orang awam yang menilai, itu sama artinya dengan kekejaman yang sudah tentu semua setuju bahwa pressure itu akan mempengaruhi mahasiswa secara psikologis. (wajar mungkin ya, lulusan SMA bisa dibodohi dengan pendidikan yang tidak memanusiakan manusia, non humanistik). Hehe..guyonan apa pula di abad 21 ini. Berhenti sampai disini, karena bukan fenomena jenis ini yang basi untuk diulas, tapi tampilan diatas hanya sebagai pengantar bahwa ternyata kejahatan itu juga ada di sekolah. Ya, faktanya kekerasan dan penindasan pada pihak yang dianggap lemah ada dimana pun, dengan jangka waktu tidak tak terbatas, sejak semua makhluk mengawali hari dengan kesadaran dari tidur, membuka mata.

Berita yang hangat secara teratur beredar di media akhir-akhir ini adalah kasus kekerasan antar teman. Lebih dikenal dengan istilah bullying. Peristiwa semacam ini sudah menjadi trend yang sudah lama terjadi di belahan negara lain, di luar negeri sana. Isu berbau SARA menjadi salah satu pemicunya, rasisme (black or white). Bagaimana di Indonesia? Apakah karena perkembangan media yang makin canggih, hingga kasus per kasus bisa terungkap keluar, apakah sebenarnya tindak kekerasan ini juga tak jauh beda frekuensinya dengan di luar negri, hanya saja lagi-lagi karena perkembangan IPTEK, maka berita ini kini dengan mudah bisa menjadi rahasia umum dan konsumsi publik juga?- rekaman lewat hp sudah melatih teman yang hanya bisa jadi penonton berinisiatif untuk mengabadikan peristiwa, hm..latihan menjadi kameramen. Itu jika ia tidak bisa melerai, akan lebih jahat jika ia tidak ingin melerai, maka peran yang dipilih adalah menjadi provokator yang memanaskan situasi perkelahian atau pengeroyokan kedua belah pihak teman-(ayo..ayo..hajar terus sampai teler- ah, masa’ ga berani balas- sikat sikutnya!!)

Kata ahli: Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Mereka kemudian mengelompokkan perilaku bullying ke dalam 5 kategori:
• Kontak fisik langsung (memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain)
• Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip)
• Perilaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya diertai oleh bullying fisik atau verbal).
• Perilaku non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng).
• Pelecehan seksual (kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal).
Miris kan..kekhawatiran kita sebagai pendidik-apakah ada anak didikku yang merasa tersakiti dan dilecehkan. Karena kalau boleh sedikit sharing, aku juga pernah jadi korban waktu SD, dampaknya aku merasa di posisi yang tersudut karena teman. Iri hati, dengki, hobi menyakiti bisa jadi pemicunya.
Dari beberapa penelitian di luar negeri, juga ditemukan perbedaan umur dan gender yang dapat mempengaruhi perilaku bullying. Pada usia 15 tahun, anak laki-laki ditemukan lebih cenderung mem-bully dengan kontak fisik langsung, sementara anak perempuan lebih cenderung mem-bully dengan perilaku tidak langsung. Namun tidak ditemukan perbedaan dalam kecenderungan melakukan bullying verbal langsung. Pada usia 18 tahun, kecenderungan anak laki-laki mem-bully dengan kontak fisik menurun tajam, dan kecenderungannya untuk menggunakan perilaku verbal langsung dan perilaku tidak langsung meningkat, meskipun anak perempuan masih tetap lebih tinggi kecenderungannya dalam hal ini.
Sebagian besar korban enggan menceritakan pengalaman mereka kepada pihak-pihak yang mempunyai kekuatan untuk mengubah cara berpikir mereka dan menghentikan siklus ini, yaitu pihak sekolah dan orangtua. Korban biasanya merahasiakan bullying yang mereka derita karena takut pelaku akan semakin mengintensifkan bullying mereka. Akibatnya, korban bisa semakin menyerap ’falsafah’ bullying yang didapat dari seniornya. Dalam skema kognitif korban yang diteliti oleh Riauskina dkk., korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena
• Tradisi
• Balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki)
• Ingin menunjukkan kekuasaan
• Marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan
• Mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan)
• Iri hati (menurut korban perempuan)
Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena
• Penampilan menyolok
• Tidak berperilaku dengan sesuai
• Perilaku dianggap tidak sopan
• Tradisi
Nah, bicara soal dampak bullying, yang paling jelas terlihat adalah kesehatan fisik, seperti sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada. Selain itu, dampak lain yang kurang terlihat, namun berefek jangka panjang adalah menurunnya kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan penyesuaian sosial yang buruk. Dari penelitian yang dilakukan Riauskina dkk., ketika mengalami bullying, korban merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam) namun tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri bahwa dirinya tidak berharga.
Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial juga muncul pada para korban. Mereka ingin pindah ke sekolah lain atau keluar dari sekolah itu, dan kalaupun mereka masih berada di sekolah itu, mereka biasanya terganggu prestasi akademisnya atau sering sengaja tidak masuk sekolah.
Yang paling ekstrim dari dampak psikologis ini adalah kemungkinan untuk timbulnya gangguan psikologis pada korban bullying, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri, dan gejala-gejala gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder). Dari 2 SMA yang diteliti Riauskina dkk., hal-hal ini juga dialami korban, seperti merasa hidupnya tertekan, takut bertemu pelaku bullying, bahkan depresi dan berkeinginan untuk bunuh diri dengan menyilet-nyilet tangannya sendiri!
Solusi
Preventif & Preseveratif: sedini mungkin, anak-anak memperoleh lingkungan yang tepat. Keluarga-keluarga semestinya dapat menjadi tempat yang nyaman untuk anak dapat mengungkapkan pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaannya. Orang tua hendaknya mengevaluasi pola interaksi yang dimiliki selama ini dan menjadi model yang tepat dalam berinteraksi dengan orang lain. Ortu bisa memberi penguatan atau pujian pada perilaku pro sosial yang ditunjukkan oleh anak. Kemudian dorong anak untuk mengembangkan bakat atau minatnya dalam kegiatan-kegiatan dan orang tua tetap harus berkomunikasi dengan guru jika anak menunjukkan adanya masalah yang bersumber dari sekolah.
Untuk mencegah dan menekan tindakan bullying di sekolah, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah, terutama di sekolah dasar sebagai lingkungan pendidikan formal pertama bagi anak. Selama ini, kebanyakan guru tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi di antara murid-muridnya. Sangat penting bahwa para guru memiliki pengetahuan dan ketrampilan mengenai pencegahan dan cara mengatasi bullying. Kurikulum sekolah semestinya mengandung unsur pengembangan sikap prososial dan guru-guru memberikan penguatan pada penerapannya dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Sekolah sebaiknya mendukung kelompok-kelompok kegiatan agar diikuti oleh seluruh siswa. Selanjutnya sekolah menyediakan akses pengaduan atau forum dialog antara siswa dan sekolah, atau orang tua dan sekolah, dan membangun aturan sekolah dan sanksi yang jelas terhadap tindakan bullying.
Kuratif: Nah, ini bagian keahlian kita kawan, bagimu yang memang beraksi untuk menjadi konselor yang ciamik. Hal yang penting adalah peka dan tanggap dengan situasi PBM (Proses Belajar Mengajar) di sekolah, cukup kondusifkah? Atau ada siswa yang tampak lesu dan tertekan-mungkin karena dia tak punya uang, dipalak tiap hari oleh kakak kelas, atau bisa jadi ada yang lebam dan memar, bukan karena dia kejatuhan bola basket waktu olahraga, ada yang sering bolos karena ketakutan di sekolah, ada yang terkunci di kamar mandi- mungkin sengaja di kunci teman sendiri?, ada keributan di tempat parkir-oh..pengeroyokan geng nero, ada yang sakit hati karena pacar direbut teman sekelas-lalu memaki?-atau bisa juga karena rebutan satu pujaan hati yang sama, aih..banyak ragam kemungkinan kasusnya.
Pakai konseling strategi apa? Sikapilah srtiap kasus itu dengan bijak. Bisa Cognitive-Behaviour Therapy-REBT, Konseling Kelompok dengan mendamaikan kedua pihak yang bertikai-konseling realita, kursi kosong, bimbingan penanaman moral kepribadian yang baik, atau cara penanganan apa pun itu sesuai apa yang kita pikir benar, efektif dan efisien.
Sampai disini dulu ulasanku, Semangat terus kawan dan Berdamailah dengan diri sendiri sebelum coba mendamaikan orang lain.
With Love,
Dian Andra R.H
dejava_18@yahoo.com
diandra-freshmind.blogspot.com


Sumber Pendukung:
Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. (2005). ”Gencet-gencetan” di mata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, skenario, dan dampak ”gencet-gencetan”. Jurnal Psikologi Sosial, 12 (01), 1 – 13

Jumat, 03 April 2009

Happy People-David Niven

"Hidup Kita tuh punya TUJUAN dan MAKNA" Kita kan ga ada di dunia hanya untuk mengisi suatu tempat atau jadi pemeran tambahan dalam film yg dibintangi orang lain. Ga akan ada yang sama jika kita ga ada. Semua tempat yg kita kunjungi dan setiap orang yang kita ajak bicara, akan beda tanpa kita. Kita semua terhubung satu sama lain. Dan kita semua terpengaruh berbagai keputusan dan keberadaan orang-orang disekitar kita.