Selasa, 28 Oktober 2008

Sekarang dan saat ini

Kalimat filosofik yang aku kutip entah dari mana, (mungkin dari salah satu tetralogi Laskar Pelangi): “Berbuat yang terbaik dimana aku berdiri, itulah sesungguhnya sikap yang realistik”. Jadi, yang terpenting bukan hari kemarin beserta rangkaian masa lalunya, bukan pula hari esok cawan rencana dan mimpi berada, tetapi menghayati hari ini, detik ini, dimana kaki berpijak dan udara masih terhirup. Karena itulah sikap yang realistik, tidak dalam angan-angan. Menampilkan diri apa adanya dan hanya perlu berbuat baik. Hanya?? Itu sudah lebih dari cukup. Perbuatan baik dengan nilai-nilai yang sejalan dengan fitrahnya hati. Kesadaranmu pun akan melengkapi sikap baik, sehingga bahagia melingkupi diri. Bahagia yang nyata.
Tidak ada hal yang remeh jika kita sadar, seulas senyuman, seramah sapaan, sehalus sentuhan, sehangat dekapan, seikhlas sedekah, setulus merawat, serela membantu, semau mendengar atau berbicara, sederma meminta atau memberi maaf, semurni berkorban, sejernih berdamai dengan alam. Semuanya bisa terjadi di detik ini, maka siapkan diri dengan sepenuh kesadaran. Aku ingin hariku indah, aku ingin harimu pun indah, aku hanya berharap kita bisa sama-sama bersyukur nanti di penghujung senja.



Senin, 20 Oktober 2008

Sekeping Hati
Sekeping hati yang dibawa berlari…
Ia hanya tahu untuk membawa rasa pada siapapun yang dijumpainya. Mencecap selaksa kasih dan sayang, mereguk damainya senyum. Sekeping hatiku adalah rasaku sendiri, bukan milik siapa-siapa, tapi rasa ini bisa kubagi pada dirimu bila aku mau memberinya, dan bila engkau mau menerimanya.081008.
Price- thing.
Kenapa ada benda-benda dengan nama yang sama (kaos, baju, blues, aksesoris, makanan), kualitas yang tidak jauh beda, namun memiliki kesenjangan harga yang amat tinggi. Banyak katalog-katalog yang menjual mimpi dengan mematok harga tinggi untuk setiap item yang sesungguhnya item serupa bisa didapat di pasar-pasar terdekat dengan harga yang tidak mahal-mahal amat untuk ukuran seseorang yang ekonomis, atau setidaknya mempertimbangkan fungsi sebelum membeli. Ataukah merek yang sudah jadi standar hidup?, merasa gengsi dengan tidak memakai barang-barang branded. Bagi sebagian orang tentu itu menjadi pilihannya dengan membeli kebahagiaan atau sekedar alat pemuas batin atau agar tidak dianggap aneh oleh komunitas sepergaulan (agar status diakui, sekaligus mencuci citra diri). Seorang teman pernah bilang “ah, pandanganmu kan juga akan berubah kalau ada di posisi mereka?”, jika kamu sudah tercukupi dengan jumlah nominal uang, mandi pun tidak cukup hanya dilakukan secara standar (menggosok gigi dan mengoleskan secuil sabun mandi), tentu ingin juga dilengkapi juga lulur, spa, mandi susu. Makan yang semula cukup di warung-warung pojok, memasak bahan makanan di rumah dengan sederhana yang penting gizi seimbang, belum dirasa puas jika tidak menjajal beragam wisata kuliner, dan cita rasa pun akan berubah. Jadi ini masalah perkembangan kebutuhan diri yang mengikuti penghasilan? Bisa iya, karena manusia tidak pernah puas, seluruh air lautan pun ingin direguknya.
Pilihan memang bersifat personal, ini hak setiap orang untuk memilih bagaimana caranya hidup. Hanya saja, perlulah bersikap bijak dengan mengukur fungsional barang sebelum membeli. Menengok ke bawah juga perlu, karena masih banyak orang yang berjuang untuk sekedar memiliki standar hidup yang bisa di bilang layak, punya sandang, pangan dan papan yang apa adanya, dengan tidak dibuat-buat. Itu saja untuk selalu disyukuri. 13 09 08.

Selamat Pagi Dunia