Senin, 20 Oktober 2008

Price- thing.
Kenapa ada benda-benda dengan nama yang sama (kaos, baju, blues, aksesoris, makanan), kualitas yang tidak jauh beda, namun memiliki kesenjangan harga yang amat tinggi. Banyak katalog-katalog yang menjual mimpi dengan mematok harga tinggi untuk setiap item yang sesungguhnya item serupa bisa didapat di pasar-pasar terdekat dengan harga yang tidak mahal-mahal amat untuk ukuran seseorang yang ekonomis, atau setidaknya mempertimbangkan fungsi sebelum membeli. Ataukah merek yang sudah jadi standar hidup?, merasa gengsi dengan tidak memakai barang-barang branded. Bagi sebagian orang tentu itu menjadi pilihannya dengan membeli kebahagiaan atau sekedar alat pemuas batin atau agar tidak dianggap aneh oleh komunitas sepergaulan (agar status diakui, sekaligus mencuci citra diri). Seorang teman pernah bilang “ah, pandanganmu kan juga akan berubah kalau ada di posisi mereka?”, jika kamu sudah tercukupi dengan jumlah nominal uang, mandi pun tidak cukup hanya dilakukan secara standar (menggosok gigi dan mengoleskan secuil sabun mandi), tentu ingin juga dilengkapi juga lulur, spa, mandi susu. Makan yang semula cukup di warung-warung pojok, memasak bahan makanan di rumah dengan sederhana yang penting gizi seimbang, belum dirasa puas jika tidak menjajal beragam wisata kuliner, dan cita rasa pun akan berubah. Jadi ini masalah perkembangan kebutuhan diri yang mengikuti penghasilan? Bisa iya, karena manusia tidak pernah puas, seluruh air lautan pun ingin direguknya.
Pilihan memang bersifat personal, ini hak setiap orang untuk memilih bagaimana caranya hidup. Hanya saja, perlulah bersikap bijak dengan mengukur fungsional barang sebelum membeli. Menengok ke bawah juga perlu, karena masih banyak orang yang berjuang untuk sekedar memiliki standar hidup yang bisa di bilang layak, punya sandang, pangan dan papan yang apa adanya, dengan tidak dibuat-buat. Itu saja untuk selalu disyukuri. 13 09 08.

Tidak ada komentar: