Minggu, 05 Juni 2011

Ikan Kembung- Rhenald Kasali

Meningkatnya daya beli Indonesia ternyata tak hanya diminati Starbucks, Carefour, Petronas dan Unilever saja. Ikan kembung dan garam pun berebut masuk negeri bahari ini. Dalam dua bulan terakhir ini 5,300 ton kontainer ikan kembung ditemukan di berbagai pelabuhan utama Indonesia: Tanjung Priok, Tanjung Mas, dan Belawan. Untunglah Mentri Kelautan menolaknya masuk.

Kalau dibiarkan, maka nelayan-nelayan Indonesia akan kehilangan nafkah signifikan, meski para penikmat seafood akan dibanjiri ikan-ikan murah. Menurut istri saya, harga ikan kembung lokal di sebuah supermarket di Jakarta di atas dua puluh ribu rupiah per kilo. Sedangkan menurut para nelayan, mereka bisa menjualnya lima belas libu rupiah. Tahu berapa harga yang dilepas para importir di pasar-pasar induk? Lima ribu rupiah.

Ternyata bukan cuma ikan kembung. Ikan lele yang mudah diternak sudah diselundupkan dari Malaysia melalui perbatasan Entekong. Lele yang dikenal sebagai ikan bengis, pemakan segala dan sulit mati ini kok bisa-bisanya kalah bersaing. Di pasar Indonesia yang dihargai Rp 20.000 ternyata bisa diimpor dengan harga Rp 10.000 per kilo. Padahal Indonesia juga dikenal sebagai negeri limbah. Penduduknya buang sampah sembarangan. Sisa sawi dan roti, sogut, tempe basi, limbah ikan dan ayam, semua bisa dimakan ikan lele. Mengapa dinas-dinas peternakan justru membakar limah-limbah ayam dan ikan? Membakar butuh energy, keluar uang. Kalau diberi kepada penernak ikan akan menciptakan kemakmuran.

Selain itu, lalat, belatung, dan keong emas banyak ditemui di sini. Di Jambi saya pernah melihat belatung sebesar ibu jari. Kalau kita serius, maka lalat, belatung, dan keong mas dapat diolah menjadi protein pakan ikan.



Ekonomi Pergaraman

Berjalan kaki di sepanjang bibir pantai Sumenep, maka anda akan menyaksikan ribuan hektar tambak garam. Sayangnya dua tahun terakhir ini cuaca tidak bersahabat. Curah hujan tinggi, petambak kesulitan menjemur garam. Lantas apa solusinya? Lagi-lagi impor. Negeri ini mengimpor sebanyak 1,6 juta ton garam setiap tahunnya.

Pemandangan berbeda saya temui di sepanjang pantai menuju ibu kota Jordania, Aman. Menelusuri bibir pantai sepanjang Laut Mati, saya jarang sekali melihat tambak-tambak garam milik rakyat. Yang saya temui hanyalah satu dua pabrik berkapasitas besar yang mengolah garam yang kadarnya sangat tinggi. Di pantainya, saya menemukan kristal-kristal garam ukuran besar yang tanpa bantuan matahari sekalipun sudah mengkristal.

Masalah Garam, ikan kembung, lele, peternakan ayam dan sapi potong, sebenarnya tidak berdiri sendiri. Masa depan produksi kelautan, perikanan, sampai ke pertanian sesungguhnya saling berhubungan. Hasil yang dicapai bisa diterka sejak dua puluh tahun yang lalu. Semua berawal dari mindset perencana ekonomi yang didasarkan tiga hal.

Pertama, “Indonesia tanah surga”. Mindset ini membentuk pikiran bahwa kita tak perlu mengembangkan teknologi. Matahari bersinar sepanjang tahun, angin membawa nelayan kemana mereka ingin pergi, jaring saja sudah menjadi bekal penangkap ikan yang hebat karena lautnya kaya. Akibatnya kita sedikit sekali mengembangkan teknologi. Kerja kita adalah kerja alam, yang hanya menjadi bagus kalau tak ada persaingan. Begitu persaingan global dibuka, pemakai teknologi menyobek pertahanan pangan kita. Bahkan buah-buahan, batik, dan beras pun impor.

Kedua, “rakyat adalah kaum pekerja”. Kaum pekerja ini dulu namanya PNS, sehingga semua PNS saat itu diberi beras bulanan. Bahkan yang makan jagung atau sagu pun berganti ke beras. Sekarang rakyat itu adalah buruh, penerima upah minimal. Rakyat ini harus dilindungi dengan beras murah, bensin murah, listrik murah, sekolah gratis, dan seterusnya. Berbeda benar dengan pemerintah Jepang atau Vietnam. Di kedua negara itu, meski industrialisasi digenjot, yang disebut rakyat adalah kaum petani. Tengoklah apa muara dari mindset yang demikian: petani dan nelayan diijinkan menjual beras dan ikan dengan harga tinggi. Akibatnya petani dan nelayan hidup semakmur buruh pabrik. Punya rumah layak, traktor atau kapal bermesin dengan teknologi modern. Beda sekali dengan disini, rakyat adalah penikmat, bukan petani atau nelayan. Karena miskin, tak ada lagi yang mau jadi petani atau nelayan dan lebih senang mengimpor.

Ketiga, ”bekerja artinya turun sendiri-sendiri”. Mana ada di dunia ini bangsa yang sejahtera karena pemimpinnya jalan sendiri-sendiri? Kementerian kelautan urus garam, BBPT urus teknologi, departenen perhubungan urus kapal, perdagangan urus impor, direktorat industri kimia departemen perindustrian juga urus garam. Semuanya punya orang hebat, lulusan ITB, UGM, Unair atau IPB. Tapi semua bekerja sendiri-sendiri. Ibarat pelari sprinter yang biasa lari cepat belum tentu jago di lari estafet. kalau terlalu jago, tongkatnya jatuh saat diestafetkan.

Sekarang saatnya bekerja. Tetapi sebelum bekerja kita perlu menyamakan pikiran (mindset) dan satukan tindakan. Rakyat itulah petani dan nelayan. Berikanlah mereka harga yang bagus, maka mereka akan bertani dan melaut. Maukan kelas menengah yang sudah menggenggam handphone dan laptop membeli beras sedikit lebih mahal untuk petani? Toh uang sekolah anak sudah dibayarkan negara, listrik juga tetap di subsidi. Kalau petani dan nelayan sejahtera, besok anak-anak kita bisa tetap mendapatkan makan.

Tidak ada komentar: