Senin, 13 Juni 2011

Nasihat Anak Untuk Orangtua

Minggu-minggu ini orang tua sibuk memikirkan anak-anak. Liburan, kenaikan kelas, kuliah dan jurusan, pekerjaan yang cocok dan seterusnya. Orang tua merasa berhak mengatur, menentukan masa depan anak-anak.
Pada waktu yang bersamaan, saya menerima kembali mahasiswa saya dari berbagai lokasi. Mahasiswa S-1 yang belum pernah menumpang pesawat, saya wajibkan pergi berdua atau bertiga ke luar negeri. Jangan Anda tanya dari mana uangnya, pokoknya ada keajaiban. Anak-anak petani dan PNS yang hidupnya serba pas-pasan di UI itu sekarang sudah melihat macam-macam negara: Saudi, India, Jepang, Makau, Hongkong, Tiongkok, Laos, Kamboja, Thailand dan Vietnam. Pokoknya pergi ke negara yang penduduknya tak bisa diajak bahasa ibu mereka dan tidak diantar oleh dosen.
Sedangkan mahasiswa MM yang rata-rata berasal dari kelas menengah atas, yang datang ke kampus dengan mobil pribadi, saya kirim ke sebuah pesantren di Lamongan yang mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan dan kasih sayang lintas agama. Di sana mereka diajak mengasihi sesama, merawat kaum lansia yang dibuang anak-anaknya di hutan, merawat anak-anak balita yang dibuang orang tuanya sejak bayi, melakukan susur sungai, diskusi di pasar, serta berdialog bersama para santri dan petani.
Yang di-sharing-kan ke dalam kolom ini adalah apa yang saya dapatkan dari dialog dengan anak-anak didik. Ada kerinduan anak-anak untuk menyampaikannya langsung kepada orang tua, namun entah mengapa leher mereka tercekat dan suaranya tak sampai ke sanubari kita. Tentu ada banyak cerita bagus dari mahasiswa berjiwa sehat yang tak bermasalah, namun saya batasi saja pada kasus-kasus penting yang perlu kita perhatikan yang tidak hanya saya temui di UI, tetapi merata di antara Generation C di berbagai kampus di nusantara.
Jangan Paksa Aku
“Selama bertahun-tahun hidupku hanya belajar dan menuruti kehendak orang tuaku. Mereka berpikir lebih mengetahui dan keputusannya selalu baik,” kata para mahasiswa. Mulanya saya terkejut juga, bukankah kuliah di universitas terkemuka suatu kebanggaan? “Itu kebanggan orang tua, bukan saya,” ujar beberapa mahasiswa yang mengakui bahwa dirinya cukup pandai.
Suatu hari saya meluangkan waktu mendengarkan seluruh unek-unek mereka. Hari Minggu lalu, selama 12 jam, mereka maju untuk berbicara tentang masa lalu dan masa depan. Tentu saja, banyak mahasiswa yang jiwanya sehat yang tak saya bahas di sini, namun semakin aneh perilaku mahasiswa, semakin tertantang saya mendengarkannya. Anda tentu ingin mengetahui apa yang saya maksud berperilaku aneh?
Begini, berpakaian tidak matching, aksesori yang janggal. Menyebut diri handsome atau pintar dari kata-kata orang tua sendiri. Bercelana bahan kain seperti orang kantoran, namun bersepatu kets. Jarang mandi, berpenampilan kumuh, aroma tak sedap. Berpenampilan religius, namun sorot matanya penuh amarah dan kata-katanya pedas.
Duduk menyendiri di sudut belakang, tak berani memandang, setiap diajak bicara menunduk takut. Diminta maju, tak bisa berbicara apa-apa. Bahkan anak-anak pandai pun, ada yang saat diminta maju, terlalu banyak bergerak. Dan Seterusnya.
Orang tua mungkin berpikir tugasnya sudah selesai saat anaknya diterima di universitas terkenal, seakan terjamin masa depannya. Namun sewaktu saya “bongkar” melalui metode “naik panggung”, terungkaplah segala unek-unek. Saya menemukan hidup sejumlah mahasiswa penuh larangan. Bahkan, ada orang tua yang bila tau anaknya pergi tanpa dosen akan panik dan melarang ikut.
Sebagian lagi sulit mengontrol amarah. Membanting tiga hingga enam buah ponsel atau sering tertinggal dan hilang berturut-turut. Rupanya, ibunda sangat panik saat tak bisa menghubungi anak gadisnya. Karena itu, setiap kali ponsel hilang atau rusak, orang tua selalu menggantinya dengan yang baru.
Saya juga menemui satu dua rekaman-rekaman kurang sehat yang mengajarkan hanya cara mereka yang benar. Orang atau kelompok lain selalu salah dan pantas disingkirkan. Tak dapat saya bayangkan bagaimana masa depan anak-anak yang terpenjara belief-nya, miskin perspektif, tak punya empati. Selain itu, banyak orang pintar yang menganggap orang lain yang berhasil sebagai ancaman.
Life Skill
Lantas, apa hubungannya antara perilaku-perilaku yang kurang baik itu dan perjalanan ke luar negeri dan pesantren yang saya set di atas? Di atas pengetahuan yang dapat dibelikan orang tua untuk anak-anaknya, sesungguhnya mereka membutuhkan life skill. Life skill itu tidak didapatkan anak-anak dari guru kurikulum atau orang tua yang hanya mengejar nilai akademis, intelektual atau rapor belaka. Mereka membutuhkan guru kehidupan, dan orang tua adalah guru hidup yang paling berarti bagi masa depan anak-anak.
Apa sajakah life skill itu? WHO pernah menyebutkan, life skill adalah modal untuk hidup sehat, dan UNESCO mengatakan bangsa yang maju dan perekonomiannya memiliki daya saing adalah bangsa yang menanam life skill sejak dini.
Ellen Galinsky menyebutkan tujuh essential life skill, sedangkan yang lain menyebutkan sepuluh :
1.Kemampuan mengelola rasa frustrasi, cognitive flexibility, focus dan self control
2.Kemampuan mengambil keputusan dengan jernih
3.Menimbang resiko
4.Berpikir logis, kritis dan kreatif
5.Berkomunikasi artikulatif
6.Berempati terhadap kesulitan orang lain
7.Kemampuan melihat dari perspektif yang berbeda, dan terakhir adalah apa yang ditemukan psikolog Carol Dweck,
8.Growth Mindset, yang saya bahas dua minggu lalu.
Orang tua yang memaksa anak-anaknya, perlu meluangkan waktu untuk mendengarkan dan introspeksi. Anak-anak yang berhasil adalah anak-anak yang memiliki life skill, dan bangsa yang yang menang adalah bangsa yang punya keterampilan untuk hidup dan cara berpikirnya sehat. Negeri ini membutuhkan orang tua yang cerdas dan guru yang pendidik, bukan pengajar yang sekedar memindahkan isi buku.

Artikel ini dimuat di harian pagi Jawa Pos edisi Senin, 6 Juni 2011.

Tidak ada komentar: